Apanya Sih Yang Baik Dari Dari Ujung Menteng?
Masih jelas teringat meski telah tiga puluh tahun berlalu, saat seorang bapak dengan nada prihatin, entah kepada saya atau kepada keadaan di jemaat Ujung Menteng waktu itu, menyampaikan sebuah nasihat atau masukan kepada saya,”Theo, kalau bisa kamu merintis pekerjaan Tuhan di tempat lain saja. Jangan di Ujung Menteng, susah di sini.” Saya agak tertegun dan tidak bisa langsung menjawab sebab pindah tempat pelayanan bukanlah perkara gampang. Lalu bapak itu melanjutkan dengan memberikan alasan-alasan mengapa dia memberikan nasihat seperti itu. Secara manusia, beberapa pernyataannya saya iyakan dengan anggukan, meskipun ada juga beberapa hal yang saya tidak sependapat.
Saya masih terdiam memikirkan beberapa hal yang benar menurut pendapat bapak tersebut. Berusaha mencari jawab yang bijaksana atas nasihatnya sekaligus menyatakan keyakinan saya bahwa apa yang nampaknya benar dari nasihat tersebut belum tentu benar di pemandangan Tuhan. Saya merasa bapak itu agak under estimate terhadap jemaat. Kita semua tahu, manusia melihat rupa, tetapi Tuhan melihat hati.
Namun pada saat seperti itulah datang suara yang lembut di dalam batin saya, ”Theo, kalau Aku menyertai hamba-hambaKu di manapun mereka Aku utus melayani, Akupun menyertai kamu di sini di Ujung Menteng.” Suara itu menolong saya untuk tak terlalu menanggapi nasihat itu, maksud saya, tak me-mikirkan untuk cari tempat pelayanan yang lain.
Lalu datanglah tahun-tahun yang berat dalam pelayanan bersama istri. Tahun-tahun yang seolah-olah membenarkan nasihat dari bapak tersebut. Tahun-tahun di mana saya sering merasa tak mungkin bisa terus melayani di Ujung Menteng. Bahkan pernah begitu putus asa dan merasa memang benar melayani di sini susah sekali dan rasanya tidak cocok buat saya untuk melayani di Ujung Menteng. Mungkin lebih cocok kalau saya melayani di Kalimantan. Pikiran ini sempat saya sampaikan kepada istri menyebabkan terjadinya perdebatan sepanjang malam karena istri merasa tidak sependapat. Lagi pula saya juga belum pernah mendoakan sama sekali hal itu. Semua keadaan yang tak mengenakkan itu dikemudian hari saya tahu adalah kombinasi dari kebodohan, ketidakdewasaan dan proses dari Tuhan yang indah untuk seorang pelayan muda. Muda usia dan miskin pengalaman.
Namun di dalam banyak kesesakan tersebut Allah memberikan penghiburan dan kekuatan bahkan sebuah lecutan semangat melalui sebuah kebenaran di dalam Yohanes 1:46.
Kata Natanael kepadanya: "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?
Perkataan Natanael yang meragukan munculnya sesuatu yang baik dari desa kecil di utara Israel itu menyentak hati saya. Nazaret yang pada waktu Yesus tinggal dan dibesarkan di sana dihuni hanya kira-kira oleh 300 orang penduduk saja memang pantas diragukan untuk menghasilkan sesuatu yang baik. Apalagi di zaman itu daerah di sekitar wilayah Galilea itu memang agak di pandang remeh karena profesi orang-orangnya yang kebanyakan hidup sebagai nelayan, secara kerohanian tidaklah terlalu dianggap.
Gambaran seperti itulah yang mungkin mendekati gambaran keadaan di Ujung Menteng, yang 30 tahun lalu masih sangat “kampung”. Saya mendengar bahwa mendiang papa dan mama mertua harus memakai sepatu boot kalau mau datang beribadah sebab halaman atau jalan ke arah rumah ibadah berubah menjadi lumpur waktu hujan deras datang. Penduduknya masih agak jarang dan kehidupan mereka sangat sederhana.
Kasih setiaNya saja yang memungkinkan semuanya ada seperti sekarang ini dan masih akan ada proses lanjutan untuk mengabdi memanfaatkan kasih setiaNya tersebut. Saya belajar, Dia yang memanggil, Dia juga yang bertangung jawab untuk memperlengkapi orang yang dipanggilNya. Ia juga melatih orang yang dipanggilNya untuk setia dalam perkara yang kecil.Dari masalah uang sampai dengan semua pekerjaan yang mungkin tidak “dilihat” atau “diperhitungkan” oleh orang banyak.
Satu lagi, soal fasilitas, itu bukanlah yang paling penting dalam sebuah permulaan pelayanan. Itu bagian yang secara natural akan menyusul jika didahului oleh sebuah kualitas. Saya berani dengan tegas mengatakan, kualitas mendahului fasilitas! Namun, kualitas seperti apakah yang paling diperlukan untuk hidup dalam panggilanNya? Saya yakin, pertama-tama bukanlah kepandaian dan pengetahuan yang tinggi. Berurusan dengan orang lain, apalagi Tuhan, maka kualitas yang pertama dan terutama harus ada adalah kualitas hati. Hati yang setia, jujur dan selalu bertanggung jawab. Kualitas hati seperti itu bertumbuh dalam diri seorang pelayan yang rela dibentuk oleh tangan Penjunannya sendiri.
Saya tak mungkin melupakan banyak kesalahan saya dalam sikap melayani khususnya di awal-awal pelayanan saya. Merasa lebih rohani, lebih berpengetahuan dalam hal firman Tuhan dan lebih baik dari jemaat. Saat saya berkhotbah, pengetahuan saya lebih mendominasi dari pada hati yang berserah kepada Tuhan agar Ia memakai saya yang hina ini untuk menyampaikan kebenaranNya di dalam kasih. Hasilnya, tak jarang selesai berkhotbah saya lebih merasa tertolak dari pada merasa yakin bahwa firman Tuhan akan mengerjakan sesuatu yang baik dalam hati jemaat.
Saya merasa sia-sia setelah berkhotbah bahkan merasa jemaat tidak memahami maksud dari kebenaran yang saya sampaikan. Lebih frustrasi lagi karena saya mengharapkan hasil
seperti yang saya pikirkan, jemaat mengalami perubahan, dan itu saya harapkan terjadi secepat mungkin. Harapan dan kenyataan yang bertolak belakang sangat menyakitkan hati bagi seorang yang sangat ingin disebut sebagai orang sukses.
Dikemudian hari saya sangat menyadari mengapa saya sangat ingin berhasil, jelas, supaya ada pujan dari orang lain. Itu datang dari watak saya yang dulunya terlalu minder sehingga kompensasinya adalah kerja keras supaya berhasil karena keinginan untuk diterima dan dihargai oleh orang lain. (Saya suka ketawa sendiri kalau mengingat hal-hal yang beginian he..he..he..)
Sekarang, saya ingin mengatakan, syukuran 30 tahun pelayanan ini untuk merayakan kasih setia Tuhan yang tak terukur dalam hidup saya, keluarga dan seluruh jemaat. Bukan merayakan pencapaian dan keberhasilan, sebab sejatinya saya telah mengambil keputusan untuk berhenti mengejar kesuksesan.
Hanya dengan pengabdian yang sungguh, saya dan seluruh jemaat bisa berharap agar Allah akan melanjutkan kasih setiaNya di hari-hari yang akan datang. Dan dengan begitu pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini akan terjawab dengan sendirinya. Terima kasih Tuhan Yesus, terima kasih untuk kasih setiaMu. Kasih setiaMu makin nyata justru karena kami telah banyak berbuat salah dan sering mengecewakanMu tetapi kasihMu kepada kami tidak berubah dan setiaMu terus berlanjut. Kami bermohon kepadaMu :
Lanjutkanlah kasih setia-Mu bagi orang yang mengenal Engkau, dan keadilan-Mu bagi orang yang tulus hati. ~ Mazmur 36:11 ~
Tuhan Yesus, tak mungkin kami mengasihi Mu dan mempermuliakan namaMu tanpa Engkau sendiri menolong kami untuk melakukan hal itu. Tuhan Yesus, permuliakanlah kiranya diriMu sendiri. (SiKY, 25 Juli 2017)
Artikel Terkait
- Jejak-Jejak Kasih Setia-Nya
- Dibutuhkan Seorang Gembala Dirumah!
- Kepala keluarga = Gembala
- Mencintai RUMAH tempat kediamanNya
- Menghormati Orang Tua